Di tengah masyarakat global yang makin majemuk, literasi budaya menjadi salah satu kompetensi penting yang harus dimiliki oleh individu. Literasi budaya tidak sekadar soal mengenal kebudayaan, tetapi juga soal kemampuan memahami, menghargai, dan berinteraksi dengan budaya lain secara kritis dan bijak. Untuk menilai sejauh mana seseorang atau kelompok memiliki kecakapan ini, diperlukan indikator yang jelas dan terukur.
Pengertian Literasi Budaya
Menurut UNESCO, literasi budaya merupakan bagian dari cultural competence, yakni kemampuan memahami, berkomunikasi, dan berinteraksi secara efektif dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Sementara itu, Kemendikbudristek Indonesia memasukkan literasi budaya ke dalam enam literasi dasar yang harus dimiliki oleh generasi abad 21, bersama dengan literasi baca-tulis, numerasi, sains, digital, dan finansial.
Budi Hardiman, seorang filsuf dan cendekiawan Indonesia, menyatakan bahwa literasi budaya adalah kemampuan untuk "membaca" simbol-simbol budaya serta memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Artinya, seseorang yang memiliki literasi budaya tidak hanya mampu mengenali budaya lain, tetapi juga bisa memaknainya secara mendalam.
Indikator Literasi Budaya
Agar literasi budaya dapat dikembangkan dan dievaluasi, dibutuhkan indikator yang dapat dijadikan tolok ukur. Berikut beberapa indikator yang sering digunakan dalam kajian literasi budaya menurut para ahli:
1. Pengetahuan tentang Keberagaman Budaya
Indikator pertama adalah sejauh mana seseorang memahami fakta-fakta dasar tentang budaya-budaya yang ada, baik lokal maupun global. Ini mencakup pemahaman tentang adat, tradisi, bahasa, sejarah, kesenian, dan sistem nilai.
Menurut Banks (2008), pengembangan literasi budaya harus diawali dengan akuisisi pengetahuan budaya sebagai landasan untuk membentuk sikap toleransi dan empati antarbudaya.
2. Sikap Terbuka dan Toleran
Indikator kedua adalah adanya sikap positif terhadap keberagaman budaya. Individu yang literat secara budaya cenderung menghargai perbedaan dan tidak bersikap etnosentris. Mereka mampu melihat perbedaan budaya sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Milton Bennett, melalui teorinya Developmental Model of Intercultural Sensitivity, menekankan bahwa literasi budaya berkembang dari sikap penolakan terhadap perbedaan, menuju toleransi, hingga akhirnya pada integrasi dan penghargaan terhadap keberagaman.
3. Kemampuan Berkomunikasi Antarbudaya
Kemampuan untuk menyampaikan dan menerima pesan secara efektif dalam konteks budaya yang berbeda menjadi salah satu indikator penting. Ini meliputi pemahaman terhadap bahasa, isyarat non-verbal, gaya komunikasi, hingga konteks sosial budaya yang menyertainya.
Menurut Gudykunst & Kim (2003), komunikasi antarbudaya memerlukan sensitivitas tinggi terhadap konteks budaya, agar tidak terjadi miskomunikasi yang dapat menimbulkan konflik.
4. Partisipasi dalam Aktivitas Budaya
Indikator selanjutnya adalah keterlibatan aktif seseorang dalam kegiatan yang bernuansa budaya, seperti menghadiri pertunjukan seni, mengikuti upacara adat, atau menjadi bagian dari komunitas budaya tertentu. Partisipasi ini mencerminkan adanya ketertarikan dan keterhubungan langsung dengan budaya.
Geert Hofstede, pakar studi budaya, menyebut bahwa interaksi langsung dengan budaya lain bisa mempercepat proses pemahaman nilai-nilai kultural karena individu mengalami pengalaman nyata, bukan sekadar membaca atau mendengar.
5. Kemampuan Berpikir Kritis terhadap Isu Budaya
Individu yang literat secara budaya tidak hanya menerima budaya begitu saja, tetapi juga mampu mengkritisi nilai, simbol, dan struktur yang ada dalam kebudayaan tersebut. Mereka mampu membedakan antara budaya yang menjunjung nilai kemanusiaan dan budaya yang menindas kelompok tertentu.
Pendapat ini didukung oleh Freire (1970) dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, yang menyatakan bahwa literasi sejati harus mengandung unsur kesadaran kritis (critical consciousness) terhadap struktur sosial-budaya.
Indikator literasi budaya mencerminkan sejauh mana seseorang mampu hidup dan berinteraksi dalam masyarakat yang beragam. Mulai dari pengetahuan, sikap, kemampuan komunikasi, partisipasi, hingga kemampuan berpikir kritis menjadi unsur penting dalam mengukur literasi budaya. Di era global ini, literasi budaya bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk membangun harmoni dan kerja sama lintas budaya.
Meningkatkan literasi budaya bukan hanya tugas lembaga pendidikan, tetapi juga tanggung jawab bersama—keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Karena pada akhirnya, masyarakat yang literat secara budaya akan tumbuh menjadi bangsa yang inklusif, damai, dan beradab.